PNS (Pegawai Negeri Sipil) beberapa hari belakangan ini merupakan satu topik berita yang bisa menyeruak di hiruk pikuk pentas drama Bank Century. Nampaknya PNS masih menjadi incaran kebanyakan masyarakat kita. Seleksi penerimaan kali ini pasti bisa memuaskan sedikit orang yang diterima namun pada saat yang sama telah mengecewakan banyak orang yang luput.
Sebagai PNS, saya merasa cukup heran dengan fenomena PNS ini. Dengan perjalanan karir dan posisi saat ini yang sangat saya syukuri, saya merasa PNS bukan lah segalanya bagi seorang Indonesia. Seandainya sejarah bisa diulang, saya ingin memilih pengembangan diri secara maksimal di lingkungan swasta yang berkaitan dengan sektor ril.
Tidak ada yang salah dengan PNS. Berkarya sebagai PNS merupakan pengabdian yang mulia pada negara dan masyarakat karena penuh dengan pengorbanan, tantangan, dan kendala yang semuanya memerlukan keikhlasan, kesiapan mental, kompetensi, kreativitas, dan kejujuran intelektual.
Betapa tidak penuh pengorbanan, ketika seseorang sarjana yang baru masuk jadi PNS misalnya, ia tidak akan menemukan ekspektasi ideal sebagai seorang sarjana yang baru keluar dari kampus. Dari segi pendapatan, ia akan terheran-heran dengan gaji yang diterimanya kok tidak memadai. Jangan kan bisa menabung untuk menikah atau merbantu orangtuanya, bukan tidak mungkin ia malah masih harus bergantung sama orangtuanya.
Pengorbanan itu akan tambah terasa ketika idealisme dan semangat seorang sarjana baru yang ingin berbuat sesuatu perbaikan, tidak tersalurkan. Di kantor ia bahkan akan dianggap sebagai seorang green horn (anak bawang) oleh lingkungan kerja dan kolega-kolega seniornya meskipun mereka tidak lebih kompeten dan qualified. Kalau pun ia mampu melakukan sesuatu yang istimewa, belum tentu akan mendapatkan appresiasi atau imbalan materi secara progresif, kecuali bahwa itu suatu pengabdian darinya, sebagai belum baiknya reward system bagi PNS.
Seorang PNS juga akan menghadapi berbagai tantangan, baik secara struktural maupun implementatif. Dengan kondisi masyarakat dan bangsa kita serperti yang ada saat ini, sangat banyak permasalahan yang harus diselesaikan dan dilakukan kantor-kantor pemerintah dan pada banyak lini. Sudah terpatri pula dalam mindset masyarakat bahwa segala macam adalah tanggung jawab pemerintah, sejak sesuatu yang prinsipil sampai sekedar pembersihan parit di depan rumah mereka. Masyarakat cenderung menuntut tanpa peduli kendala dan duduk perkara sesuatunya.
Dalam implementasi pekerjaan pula, idealisme dan semangat seorang PNS baru sangat mungkin akan berbenturan dengan orang-orang lama dalam sistem yang ada. Upaya perubahan menuju pada kebaikan cenderung akan ditantang karena biasanya mengganggu kepentingan orang-orang yang sudah berkarat dalam sistem itu. Keadaan inilah yang lambat laun bisa melunturkan si pemula dan akhirnya terkooptasi oleh sistem yang ada.
Sementara itu, tidak sedikit pula kendala yang dihadapi para PNS. Mereka umumnya bekerja dalam berbagai keterbatasan biaya, fasilitas, alat kerja, akses informasi serta pengembangan diri. Tidak jarang akhirnya tercampur antara keperluan dinas (plat merah) dan pribadi (plat hitam) yang melahirkan istilah pelat coklat. Hal ini cenderung membuat mandeg pengembangan kemampuan para PNS kecuali dia seorang yang jeli dan pandai mencari terobosan secara perseorangan. Jangan dilihat keadaan para petinggi PNS yang mungkin sudah mendapat berbagai fasilitas dan dukungan pegawai bawahan karena pimpinan itu jumlahnya sangat sedikit dan itu sudah melalui jalan yang panjang dan waktu yang lama.
Itu lah sebabnya kalau ada kolega atau sanak saudara yang meminta pendapat atau minta tolong untuk memasukkan anaknya jadi PNS, saya tidak meng-encourage dan menyarankan agar mencari peluang di swasta saja. Selain memang tidak mungkin membantu supaya diterima jadi PNS, saya juga mengingatkan masalah yang akan dihadapi oleh seorang PNS jika tidak siap sebagai abdi negara yang ikhlas dan konsekuen. Makanya aneh jika orang masih berlomba-lomba ingin jadi PNS dan profesi-profesi aparatur negara lainnya; apa karena tidak berani berjuang di dunia ril (sebab tidak kompeten dan tidak kapabel) atau sudah punya niat lain yang penuh hitung-hitungan materil sehingga menyogok pun mau. Anehnya orangtua sang calon pun setuju dan mengusahakan dengan cara haram itu. Kalau cara mendapatkannya haram maka akan tercemar pula lah hasilnya sampai jauh ke hilir. Astaghfirullah, naudzubillah.