Gambut selalu disebut setiap musim asap yang diduga berasal dari titik api (hot spot) di Provinsi Riau. Contohnya tanggal 8 Mei 2011, ada 110 hot spot dari 136 yang ada di Sumatera sehingga dan asapnya sampai ke negara-negara tetangga (Riau Pos, 22/5/2011). Memang, di provinsi ini ada hamparan gambut lebih dari empat juta hektar atau sekitar 45 persen luas daratannya.
Lahan gambut terdapat di cekungan rendah berair atau rawa yang biasanya antara dua tanah tinggi atau tebing (levee) dua sungai besar dengan ketebalannya 50 cm sampai lebih dari 4 m. Gambut adalah tanah organik jenuh air yang terbentuk dari akumulasi pelapukan sisa tanaman dalam waktu yang lama. Bersama flora, fauna, air, dan lingkungan fisik keseluruhannya akan membentuk suatu ekosistem dengan keragaman hayati (biodiversity) yang kaya dan spesifik.
Sifat fisik lahan basah gambut yang khas berkaitan dengan air dan tidak pulih (unrenewable). Ia sangat berongga (porous), kering tak balik, daya dukung rendah, dan mudah terbakar. Ekosistem lahan gambut dapat menyerap air dalam jumlah besar pada musim hujan dan mengalirkannya secara perlahan pada musim kering sehingga potensial untuk pengendalian banjir. Karena selalu basah, tanah gambut memiliki daya dukung sangat rendah yang menyebabkan biaya konstruksi di atasnya jauh lebih mahal sehingga orang cenderung menimbun atau mengeringkannya. Ditambah dengan usaha perkebunan, gambut banyak mengalami penurunan dan rusak permanen (kering tak balik) ketika terlalu kering, dibakar, atau terbakar.
Gambut kering, dengan puntung rokok saja akan mudah terbakar sampai ke lapisan bawah pada taraf muka air tanah. Karena kaya dengan zat karbon dan api bersentuhan dengan kelembaban di lapisan yang basah maka gambut yang terbakar akan sulit dimatikan dan menimbulkan asap yang demikian banyak. Kerusakan ini juga melepas gas karbon dalam jumlah besar yang berdampak pada pemanasan global. Sementara emisi karbon pada kebakaran hutan biasa perlu 100 tahun untuk menetralisirnya, kebakaran gambut perlu 600 tahun (Riau Pos, 22/5/2011).
Menurut data Rona Lingkungan Hidup Univeristas Riau, sebagai akibat kerusakan lahan yang luas dan intensif, tertunya termasuk lahan basah gambut, dalam 30 tahun terakhir telah menaikkan suhu di Riau 2 derajat Celcius. Pada saat banyak titik api tanggal 8 Mei lalu, suhu di Pekanbaru mencapai angka ekstrim 36,5 derajat Celcius. Perubahan iklim lokal maupun regional yang juga merusak biodiversity ekosistem gambut, bukan tidak mungkin akan menimbulkan berbagai bencana lingkungan seperti ulat bulu, hama, atau serangga lainnya.
Karena itu, kita harus lebih peduli pada penjagaan dan penyelamatan lingkungan, khususnya lahan basah gambut yang merupakan karunia spesifik di Riau. Konservasi hutan mesti mempertimbangkan keberadaan gambut yang moratorium konversinya adalah suatu keniscayaan sebagai menjadi kebijakan nasional, bahkan global. Tentu kita tidak mau menjadi orang yang membuat kerusakan di muka bumi ini lalu mewariskannya. Semoga.
(sudah dimuat pada kolom Makna di Harian Riau Pos hari Rabu tanggal 25 Mei 2011 halaman 4, juga dimuat di Notes akaun FB saya http://www.facebook.com/feizal.karim)