Tanpa kita sadari, azas kepemimpinan terus bergeser seiring perjalanan waktu. Tak usah jauh-jauh ke zaman para Nabi, jika kita bandingkan kepemimpinan zaman perjuangan kemerdekaan dengan kepemimpinan zaman sekarang, sangat jauh berbeda. Pikiran ini sepintas mungkin terasa lebay dan bisa dinilai utopis bila kita telah sendiri telah menggeser azas dan nilai-nilai kejuangan itu.
Para pejuang kita dulu memiliki azas yang selalu mengedepankan cita-cita bangsa ketimbang keinginan pribadi atau kelompok masing-masing. Meskipun faham bahwa harus ada yang memimpin, dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa, mereka lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada soal siapa yang akan memimpin dan mereka malu untuk berebut-rebut ingin menjadi pemimpin. Sebagai perseorangan, para pejuang bukannya sibuk menghitung-hitung apa yang akan mereka dapatkan, malah merelakan harta benda dan bahkan nyawanya sendiri untuk tujuan yang besar tersebut.
Keadaan demikian tidak timbul secara sederhana, secara dibuat-buat (artifisial), atau sifatnya kulit-kulit saja (kosmetik) tapi pasti berlaku karena adanya kesamaan visi dalam suatu sistem nilai yang unggul serta semangat yang membara untuk meraih kemerdekaan. Dengan modal bambu runcing dan teriakan Allahu Akbar mereka merangsek maju untuk menang atau syahid. Proses perjuangan kemerdekaan ini dapat kita kemas sebagai upaya meninggalkan peradaban di bawah penjajahan untuk membangun peradaban baru sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Menurut Malik bin Nabi, seorang penulis Aljazair yang mengacu pada sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW, proses pembangunan peradaban mempunyai tiga modal awal yaitu manusia, tanah (lahan), dan waktu. Namun ke tiga modal dasar ini belum cukup untuk menggerakkan proses pengembangan sebuah peradaban baru. Untuk mensistesiskan tiga modal ini masih perlu katalisator yang bersifat mental spiritual yaitu agama. Faktor agama inilah yang membedakan pengembangan peradaban Isalam dengan yang lainnya.
Malik bin Nabi juga menggambarkan pembangunan peradaban itu secara grafis dengan sumbu X sebagai waktu dan sumbu Y sebagai kadar nilai-nilai psiko-sosial yang ada atau mengendalikan kehidupan masyarakat. Pada fasa awal, kebangkitan adalah sakralisasi peradaban yang dibimbing oleh keruhanian. Seiring dengan dinamika yang ada, bila nilai-nilai keruhanian memudar mengikuti ketiadaan pemimpin tauladan, fasa berikutnya akal lebih banyak berperan yang cenderung menggiring manusia kembali mengikuti naluri (nafsu) saja. Saat inilah peradaban itu akan kehilangan nilai-nilai sosialnya dan runtuh.
Dalam dinamika pembangunan peradaban, ada tiga faktor yang berperan: ide, pribadi, dan benda. Sebagai contoh peradaban Islam, pada fasa pertama yang lebih banyak ide dan pribadi yang berperan adalah adanya ajaran dan figur Nabi SAW serta para khalifah yang melahirkan peradaban Islam dalam waktu singkat. Namun ketika orang Islam mulai meningggalkan ajarannya dan tanpa kehadiran pemimpin tauladan yang dilengkapi pula dengan kontaminasi alam kebendaan, maka peradaban Islam mundur.
Bila yang lebih banyak berperan manusia dan benda maka bisa saja peradaban itu terlihat maju karena dipenuhi dengan benda-benda yang sesuai dengan selera yang dibimbing oleh naluri atau nafsu manusia yang bagaikan sifat kanak-kanak yang sangat erat dengan mainan-mainan. Seorang anak akan tidak suka dan menangis bila mainannya diambil atau diganggu. Karena itu bila manusia hidup tanpa nilai yang berasal dari iman karena hanya mengikuti naluri atau hawa nafsu, maka manusia itu berada dalam fasa atau lebih buruk dari itu.
Jadi, pembangunan peradaban itu hanya akan terjadi bila ada pemimpin yang memiliki nilai-nilai keruhanian yang berasal dari iman. Dengan ketauladanan dan pemikirannya yang berdasarkan ajaran Ilahiah pasti sang pemimpin akan diakui dan dicintai pengikutnya. Rekatan ideologi para pengikut akan menguatkan posisi para pemimpin berikutnya sepanjang masih sejalan dengan nilai-nilai, norma, dan sistem yang telah terbangun.
Idealisme inilah yang telah berubah hari ini; banyak orang dan masyarakat ramai sendiri yang dengan mudah meninggalkan ideologi mental spiritual. Mereka menggantinya dengan nilai-nilai yang turun dari faham materialisme atau kebendaan yang turun dari kehendak hawa nafsu dalam diri manusia yang memang senantiasa mengajak kepada keburukan. Nafsu kebendaan ini yang menyebabkan orang bergaya hidup konsumtif dan hedonis serta lebih mengangungkan faham kapitalisme, liberalisme, dan ikutannya. Banyak manusia hari ini sangat mencintai dunia, lupa akhirat, namun takut mati. Otomatis sistem tata negara, pemerintahan, sosial, dan kemasyarakatan yang terbentuk akan mengacu pada ideologi dan nilai-nilai ini.
Pertanyaan besarnya, apakah seorang pemimpin yang muncul dari kelompok cinta dunia ini akan mampu memperbaiki keadaan ke arah yang lebih baik? Yang secara mental spiritual masih berada dalam fasa kanak-kanak? Mengacu kepada grafik Malik bin Nabi, ia justru akan membawa pada kehancuran peradaban. Jelas sekarang, hanya seorang pemimpin yang memiliki keruhanian dan akal budi yang dibimbing oleh ajaran Islam yang akan dapat memperbaiki keadaan dan memajukan ummat secara amanah dan berkeadilan.
Leave a Reply