Judul ini bukan salah ketik tapi yang dimaksud memang semacam penyakit telinga bernanah yang menyebabkan tuli. Kata Bahasa Melayu lama ini mungkin sudah jarang kita dengar karena memang kurang nyaman digunakan kecuali di lingkungan sebagian kultur dengan berbagai perubahan bunyi dan dialeknya. Masih lazim penggunaannya untuk mengekspresikan keadaan yang sudah agak parah; semacam “Budeg lu…!” untuk orang-orang dengan sikap tertentu.
Dulu ketika penjagaan kebersihan dan kesehatan masih buruk, memang banyak anak-anak yang terkena penyakit torek. Telinga yang kebersihannya tidak terjaga atau kemasukan air mandi yang kotor akan berkudis dan bernanah sehingga berbau busuk dan pendengaran terganggu. Anak dengan penyakit ini sering dijauhi teman-temanya karena bau itu dan kesulitan berkomunikasi. Memang tragis sekali buat seorang anak yang torek, ia hadir tapi tidak dinginkan dan tidak berarti.
Zaman millennial ini sudah jarang kita temukan penyakit ini tapi cukup banyak orang yang “torek” dalam artian ia berkuping tapi tidak “mendengar”. Kata ini dianggap lebih pantas digunakan dari pada tuli untuk orang-orang yang tidak menggunakan telinganya dengan baik; lebih tepatnya apa yang didengar dan dilihatnya meskioun itu kebaikan, tidak mempengaruhi akal dan nuraninya. Penyebabnya bisa jadi karena kejahilan (kedunguan kata Rocky Gerung), tertutup oleh nanah busuk maksud jahat, kedengkian, atau sekedar sikap pragmatis dan opportunistik.
Kita bisa memaklumi bila orang menjadi atau berlagak torek karena pragmatis atau opportunis karena memang demikian hukum dunia. Kita juga sudah faham bahwa mereka adalah orang-orang yang merugi yang menukar kebenaran dan kebaikan dengan keuntungan duniawi yang nilainya sangat kecil. Namun kita bisa jadi cukup heran bila ada sebagaian orang yang notabene intelektual tapi “torek”.
Tidak masuknya kebaikan ke dalam akal dan nurani orang-orang “torek” ini sebenarnya secara makro merugikan kita semua. Intelektualitas mereka tidak bermanfaat maksimal untuk kemaslahatan dan kebaikan ummat. Keadaan demikian menjadikan mereka tidak akan “besar” secara universal tapi hanya dalam tempurung pikiran sempit dan spesifik untuk diri sendiri atau kelompok kecil saja. Mereka kelak akan dijauhi oleh lingkungan intelektual dan sosial yang universal.
Bagi kita, cukuplah dengan nilai-nilai luhur dan yang menjadi rahmatan lil’alamin yang sudah Allah karuniakan tanpa merasa akan kehilangan akhirat akibat merebut dunia secara gedubrak. Kita doakan agar Allah menghindarkan kita dari kemunduran hati dan nurani serta menjadi orang-orang yang senantiasa mdngungatNya. Semoga Allah juga memberi hidayah dan menghilangkan penyakit “torek” dari para intelektual sehingga menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara tercinta.
(sumber foto: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/tips-sehat/20161105/3518744/tips-mudah-jaga-kesehatan-telinga/)
Leave a comment