Feeds:
Posts
Comments

“T o r e k”

telinga

Judul ini bukan salah ketik tapi yang dimaksud memang semacam penyakit telinga bernanah yang menyebabkan tuli. Kata Bahasa Melayu lama ini mungkin sudah jarang kita dengar karena memang kurang nyaman digunakan kecuali di lingkungan sebagian kultur dengan berbagai perubahan bunyi dan dialeknya.  Masih lazim penggunaannya untuk mengekspresikan keadaan yang sudah agak parah; semacam “Budeg lu…!” untuk orang-orang dengan sikap tertentu.

Dulu ketika penjagaan kebersihan dan kesehatan masih buruk, memang banyak anak-anak yang terkena penyakit torek. Telinga yang kebersihannya tidak terjaga atau kemasukan air mandi yang kotor akan berkudis dan bernanah sehingga berbau busuk dan pendengaran terganggu.  Anak dengan penyakit ini sering dijauhi teman-temanya karena bau itu dan kesulitan berkomunikasi.  Memang tragis sekali buat seorang anak yang torek, ia hadir tapi tidak dinginkan dan tidak berarti.

Zaman millennial ini sudah jarang kita temukan penyakit ini tapi cukup banyak orang yang “torek” dalam artian ia berkuping tapi tidak “mendengar”. Kata ini dianggap lebih pantas digunakan dari pada tuli untuk orang-orang yang tidak menggunakan telinganya dengan baik; lebih tepatnya apa yang didengar dan dilihatnya meskioun itu kebaikan, tidak mempengaruhi akal dan nuraninya.  Penyebabnya bisa jadi karena kejahilan (kedunguan kata Rocky Gerung), tertutup oleh nanah busuk maksud jahat, kedengkian, atau sekedar sikap pragmatis dan opportunistik.

Kita bisa memaklumi bila orang menjadi atau berlagak torek karena pragmatis atau opportunis karena memang demikian hukum dunia.  Kita juga sudah faham bahwa mereka adalah orang-orang yang merugi yang menukar kebenaran dan kebaikan dengan keuntungan duniawi yang nilainya sangat kecil. Namun kita bisa jadi cukup heran bila ada sebagaian orang yang notabene intelektual tapi “torek”.

Tidak masuknya kebaikan ke dalam akal dan nurani orang-orang “torek” ini sebenarnya secara makro merugikan kita semua.  Intelektualitas mereka tidak bermanfaat maksimal untuk kemaslahatan dan kebaikan ummat.  Keadaan demikian menjadikan mereka tidak akan “besar” secara universal tapi hanya dalam tempurung pikiran sempit dan spesifik untuk diri sendiri atau kelompok kecil saja.  Mereka kelak akan dijauhi oleh lingkungan intelektual dan sosial yang universal.

Bagi kita, cukuplah dengan nilai-nilai luhur dan yang menjadi rahmatan lil’alamin yang sudah Allah karuniakan tanpa merasa akan kehilangan akhirat akibat merebut dunia secara gedubrak. Kita doakan agar Allah menghindarkan kita dari kemunduran hati dan nurani serta menjadi orang-orang yang senantiasa mdngungatNya.  Semoga Allah juga memberi hidayah dan menghilangkan penyakit “torek” dari para intelektual sehingga menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara tercinta.

(sumber foto: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/tips-sehat/20161105/3518744/tips-mudah-jaga-kesehatan-telinga/)

K e u k e u h

seorang-penyanyi-populer-korea-terlibat-98c002

Kata keukeuh dalam Bahasa Sunda punya arti yang mungkin sulit kita cari kesamaannya dalam Bahasa Indonesia karena punya pengertian yang agak lengkap: tak bisa dilarang, ngotot.  Dalam manifetasinya, bertahan dengan pendapatnya tanpa peduli apakah itu benar atau salah sehingga bisa berkonotasi bagaikan menegakkan benang basah.  Sampai-sampai ada pameo: yang paling susah dinasehati atau diberi masukan adalah orang yang sedang jatuh cinta dan yang sedang membela junjungannya.

Dalam pentas politik bangsa pada awal tahun 2019 ini, kita sedang dihadapkan pada situasi dua kutub yang persaingannya terasa cukup keras.  Masing-masing kutub demikian percaya diri dengan pemikirannya dan boleh dikatakan sangat sedikit perubahan yang terjadi, kecuali adanya tambahan dari swing voters. Karena itu cukup sesuai kalau kita katakan mereka keukeuh dengan pendapat dan pandangannya masing-masing meskipun data, fakta, atau argumentasi yang realistis dan rasional berseliweran.

Yang cukup anehnya, mereka yang keukeuh itu terdiri dari para cendekia intelektual, ahli profesional, pengusaha sukses, pengajar, atau tokoh terpandang.  Bagi orang-orang demikian ini, bisa jadi sudah punya pilihan sejak semula sesuai platform hidupnya, sikap keukeuh itu mungkin juga ada penyebabnya.  Tentang hal ini, Ustadz Muhammad Rizal, SH, M.Si, seorang ulama dan juga politisi dari Jawa Barat, memberikan pendapat yang sangat mencerahkan.

Beliau mengingatkan kita agar jangan sampai menjadi orang yang mencintai sesuatu mengalahkan cinta kita kepada Allah dan Rasulullah.  Sikap ini bisa menggiring kita jatuh ke dalam syirik, satu dosa besar yang tak terampunkan dan dalam bersikap kita hendaknya menggunakan acuan yang mutlak kita yakin kebenarannya serta dianjurkan untuk menggunakan akal sehat.  Selanjutnya beliau mengingatkan agar kita juga tidak terjebak ke dalam sebab-sebab menjadi keukeuh dengan pandangannya, kurang lebih sebagi berikut.

Pertama, perhitungan pragmatis yang mempertimbangkan untung rugi bagi diri atau kelompoknya secara duniawi.  Dalam pandangannya, jalan yang dipilihnya itulah yang akan membawa keadaan lebih baik dari segi materi, jabatan, dan keuntungan duniawi lainnya.

Kedua, ada pula yang merasa akan bisa masuk ke dalam sistem yang dipilihnya itu untuk ikut memperbaiki keadaan tanpa ia sadari bahwa sistem itu sangat besar dan kuat dengan goals yang sudah tertentu.  Sangat kecil peluang ia bisa merubahnya, bahkan mungkin ia yang akan hanyut.

Ketiga, salah perhitungan akan kekuatan dan potensi kutub yang jadi pilihan.  Tanpa informasi dan pemahaman yang baik kita akan mudah tergiring ke satua arah yang terlihat hebat dan kuat yang diharapkan jadi gantungan harapan.  Sayangnya harapan itu kurang disejalankan dengan nilai-nilai yang harus jadi pedoman secara hakiki.

Keempat, pembatasan diri sendiri pada sikap seorang intelectual atau professional leader namun tanpa ruh dan malah berjiwa budak.  Sebagai leader, ia hanya mengacu pada kaidah-kaidah baku yang diterima orang banyak atau otoritas tanpa punya kemampuan untuk menyatakan kebenaran.

Kelima, seorang akan jadi keukeuh ketika enggan keluar dari zona aman yang sedang dinikmatinya.  Ia hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak mau membebaskan diri dan lingkungannya dari keterjajahan.

Mudah-mudahan kita tidak termasuk golongan orang sebagaimana yang diindikasikan oleh Ustadz Rizal tersebut dan senantiasa mendapat bimbingan Allah Swt.

atap selaso jatuh kembar

di mana air disauk

di situ ranting dipatah

Dua baris petuah Melayu dari buku Pak Tenas Effendi di atas dapat jadi titik awal berangkat bila kita ingin bicara tentang rancang bangun yang dinamis di lingkungan puak Melayu.  Baris pertama menggambarkan tempat dimana seorang Melayu mendapatkan nafkah utamanya yaitu berupa air sebagai sumber kehidupan.  Baris kedua mewasiatkan agar orang itu mengembangkan kehidupannya di bumi yang dijelajahinya itu.

Dalam suatu kesempatan, pak Tenas pernah menjelaskan kurang lebih bahwa “ranting dipatah” itu menggambarkan bahwa alam itu harus dimajukan untuk kepentingan manusia namun secara bijak dan berpada-pada.  Meskipun ranting merupakan bagian terkecil dari suatu pohon kayu  namun sudah cukup berarti bagi kehidupan manusia.  Kita pun dapat merasakan bahwa  mematahkan ranting secara selektif dan bergilir tidaklah akan membinasakan pohonnya, sebaliknya dapat dipandang sebagai penerapan dari sustainable harvesting pada puak Melayu. Yang jadi pertanyaan adalah siapa puak Melayu itu?

Kita tidak akan berbicara tentang manusia Deutro-Melayu yang datang ke Nusantara sekitar tahun 300 SM lalu tapi keturunan mereka yang telah bercampur baur dengan kelompok yang datang lebih dahulu dan yang menyusul kemudian, termasuk yang membawa Islam.  Menurut DR Mahdini, Melayu adalah suku bangsa yang mendiami di wilayah-wilayah Islam di Indonesia, Malaysia, Patani (Thailand Selatan), dan Mindanao (Filipina Selatan).  Rumpun ini memiliki identitas yang jelas melalui agama Islam dan kesamaan bahasa yang dipakai.  Jadi, sebagaimana juga pemahaman di Malaysia hari ini, penyebutan Melayu bukan lagi untuk menunjuk pada suatu ras atau etnis dengan ciri fisik tertentu namun lebih pada kesamaan manhaj atau tata cara kehidupan dan  budaya yang mengacu pada agama Islam.

Mungkin ada yang tidak sepakat dengat batasan bahasa dan agama ini karena ingin meremang-remangkannya kembali dengan kata sejarah dan budaya.  Memang nenek moyang kita mengalami berbagai fasa sejak Pra-Hindu-Budha, Hindu Budha, Islam, sampai Kolonialisme, akan tetapi sudah menjadi Rahmat bahwa Islam tertanam dengan kuat pada mayoritas orang Melayu sampai hari ini.  Bila disebutkan ada bangsawan yang secara perseorangan menggunakan identitas Islam untuk mendapatkan dukungan rakyat guna menghadapi kolonial tentu tidak dapat dijadikan dasar untuk menyalahkan pemilihan terhadap Islam itu.  Tanpa maksud menafikan keberagaman dan akan merugikan keyakinan lain, sebagai penganut Islam yang baik dan benar, orang Melayu semestinya sangat berbahagia dengan dua entitas utama tadi: Bahasa Melayu yang telah diadopsi jadi Bahasa Indonesia dan Agama Islam.

Dalam buku Tunjuk Ajar Melayu, Pak Tenas secara arif menyampaikan bagaimana orang Melayu diwajibkan mempelajari ilmu dan teknologi yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, budaya, dan nilai-nilai luhur adat istiadatnya.  Dalam wujud dan jenis apapun, ilmu harus ditapis dengan akidah Islam dan diserasikan dengan budaya dan norma sosial yang dianut masyarakat. Orang Melayu dilarang keras bertelikai apatah lagi menyalahi nilai-nilai dan norma sosial yang merujuk pada ajaran Islam itu; yang bengkok diluruskan, yang  tak baik dibuang.

Dengan demikian, dalam konteks ini dapat kita sebutkan bahwa yang disebut puak Melayu itu adalah penduduk atau masyarakat yang berdiam di Riau yang beragama Islam, berbahasa Melayu atau Indonesia, dan melaksanakan tata cara hidup (manhaj atau budaya) sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial berdasarkan ajaran Islam.  Definisi ini dengan sendirinya dapat menampung penganut Islam yang telah hidup beranak pinak dan membaur di Provinsi Riau, tanpa melihat asal usul etnis atau ciri fisiknya secara sempit. Adalah kewajiban bagi orang Melayu untuk berinteraksi dengan baik terhadap siapapun dan senantiasa berbuat kebaikan, apatah lagi di negerinya sendiri, Provinsi Riau yang sama-sama kita cintai.

Dewasa ini, jumlah penduduk Provinsi Riau 5,9 juta lebih dengan pertumbuhan sebesar 3,76 persen (2010) yang menggambarkan manisnya gula di negeri ini.  Sebagian besar penduduk berada di perdesaan (rural) pada daerah-daerah pesisir, pantai dan muara, sepanjang sungai, suak dan danau atau dataran dan bukit di sekitar hutan atau lahan bukaan.  Pada umumnya penduduk perdesaan secara tradisional hidup dari sektor pertanian dalam arti luas dengan ciri minim infrastruktur dan pelayanan umum, terbatas akses modal dan pasar, lemah peningkatan produktivitas, lesu pembinaan sosial-agama, namun nampaknya sangat dinamis.

Meskipun di Riau demikian banyak beroperasi perusahan besar dan bahkan mutlinasional, namun belum banyak merubah wajah tradisional tadi secara ekonomi karena Riau bukan dianggap sebagai ladang tapi lebih sebagai padang perburuan. Pelaku-pelaku ekonomi dan kaki tangan terkait yang ada di gerbong depan sangat sedikit yang dari kelompok Melayu tadi.  Dengan pendekatan “Earning di Riau, Spending di Jakarta” sebagaimana yang dikatakan Prof Lilik Hendrajaya waktu jadi Rektor ITB dulu, atau para pengusaha yang membuat akronim Riau menjadi “Ramai-ramai Ingin Ambil Uang” maka  makin menderulah bulldozer-buldozer kapital masuk ke pelosok tanah ulayat suku-sakat yang bukan tak mungkin meluluh-lantakkan pula hutan larangan yang selama ini dikawal dengan kearifan lokal.  Dalam sistem yang tidak handal dan tata nilai yang sangat dipengaruhi oleh cinta dunia yang luar biasa hari ini, maka tesisalah bidang-bidang lahan yang tak jelas pula statusnya dan pasti tidak akan mencukupi lagi untuk generasi berikutnya.

Bila sementara orang mendapat manfaat dengan kondisi yang digambarkan bagus oleh indikator ekonomi makro ini adalah suatu kewajaran.  Pertumbuhan ekonomi tanpa migas Provinsi Riau dalam lima tahun terakhir ini berkisar antara 6 sampai 8 persen, yang selalu di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional. Indikator lain juga menunjukkan angka yang bagus dan kita telah berhasil menurunkan jumlah pengangguran dan kemiskinan, meskipun belum secara signifikan.

Di lain pihak, bila kita cermati pula APBD se Provinsi Riau yang dalam lima tahun terakhir berjumlah sekitar Rp55 triliun, belum terasa bahwa bagusnya indikator ekonomi ini merupakan tetesan dari kinerja kolektif dan sinergis. Hal ini bisa kita telusuri dari jenis dan besaran program atau kegiatan yang masih kurang tepat, alokasi yang relatif besar untuk belanja pegawai, dan belanja modal yang hanya sekitar 30 persen saja dari total APBD padahal fungsinya untuk menstimulasi tumbuhnya kegiatan ekonomi.  Muaranya adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang meningkat tidak signifikan dan tidak sebanding dengan kucuran anggaran daerah.

Aspek pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam dan pengelolaan adminsitrasi keuangan daerah di atas sudah sepatutnya jadi pelajaran berharga bagi kita ke depan.  Secara logis kita perlu menyusur kembali ke pangkal jalan untuk membenahi apa yang berantakan, mencukupkan apa yang kurang, dan meluruskan apa yang bengkok.  Pemanfaatan sumberdaya alam dan kekayaan daerah juga tidak hanya untuk kita hari ini namun harus dapat terjaga dan kita wariskan kepada generasi berikutnya, sebagaimana tunjuk ajar Melayu agar bersebati dengan alam.

Kalau tidak ada laut, hampalah perut

Bila taka da hutan, binasalah badan

Berkaitan dengan ini, alam telah mengajarkan kearifan lokal pada orang Melayu.  Adanya empat sungai besar yang bermuara ke Selat Malaka dengan pulau-pulau endapan alluvial dan tanah gambut, telah memolakan pula permukiman dan pergerakan masyarakat perdesaan.  Penduduk tradisional banyak bermukim di pesisir, selat, muara, sepanjang sungai, suak dan danau dengan mengadalkan keberadaan air untuk keperluan kehidupan selaku seorang Muslim dan sebagai sumber nafkah serta moda transportasi.  Mereka tidak semena-mena menjadikan sungai atau perairan sebagai backyard tempat untuk mencampakkan segala kotoran.

Dalam Masterplan Provinsi Riau yang dibuat sekitar 10 tahun lalu namun tak jadi dimanfaatkan, telah disarankan agar kita mengacu kepala kearifan lokal yang berorientasi ke sungai dan perairan.  Sungai dan pesisir dijadikan modal berharga yang sudah given yang dapat didayagunakan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat.

 Diperkirakan akan lebih baik jika bergerak transversal terhadap sungai yang ketika itu masih banyak dimanfaatkan masyarakat sehingga dapat menghemat biaya untuk berbagai infrastruktur dibandingkan jika kita bergerak lateral terhadap sungai.  Jadinya infrastruktur besar yang harus kita bangun lebih sedikit dan bisa menambah yang dengan hirarkinya untuk mencapai perdesaan sehingga akan sangat memudahkan bila jalan aspal sampai ke tepi jerambah atau kebun rakyat.  Pemikiran para konsultan ahli yang menyusun masterplan itu tentu tidak sembarangan dan mereka memang telah mencermati kehidupan rakyat Riau di perdesaan yang banyak di riverfront.

Riverfront adalah kawasan yang mengikuti tepi (bantaran) sungai yang menjadi bagian dari suatu kepentingan.   Pada sebuah rumah yang menghadap ke sungai maka tepiannya adalah sebuah riverfront baginya; sebuah taman atau kampung di sepanjang sungai yang memiliki ruang sampai ke sungai maka kawasan tepinya adalah riverfront darinya.  Sebuah kota yang di dalamnya mengalir sebuah sungai maka kawasan sepanjang kiri-kanan sungai sampai selebar jarak pengaruh sungai itu dapat dikatakan riverfront dari kota itu atau waterfront kalau terhubung ke laut atau danau.

Pekanbaru misalnya, tumbuh dari permukiman kecil tradisional yang kehidupannya banyak bergantung pada sungai.  Sifat hidup manusia yang suka berkelompok membuat sebuah titik mula-mula ditempati oleh beberapa rumah saja, kemudian jumlahnya terus bertambah secara linier mengikuti sungai yang memang diandalkan untuk transportasi dan sumber kehidupan. Ketika jarak terasa jauh untuk zaman itu, maka sesuai dengan kearifan lokal yang ada, daerah di seberangnya mulai diisi dan jalan setapak di sepanjang tepi sungai juga dibuat sehingga dari sebuah dusun ia menjadi kampung lalu sebuah kota.

Ketika orientasi nilai dan norma berubah serta kepentingan materialisme manusia telah mengabaikan kepentingan alam, maka orang berebut-rebut mendapatkan lahan dan cenderung memperlakukan sungai hanya sebagai prasarana yang dapat diutilisasi sesukanya.  Riverfront secara alami menjadi kawasan berfungsi campuran untuk permukiman, rekreasi, pasar, pelabuhan, gudang, dan sebagainya.  Tanpa sentuhan otoritas, sungai kemudian menjadi backyard sehingga riverfront yang sebenarnya berharga bagi peri kehidupan manusia ini malah berubah menjadi daerah kumuh dan kacau balau (slum area).

Padahal, di negara-negara maju, riverfront atau waterfront dijadikan suatu lingkungan bagus dan bermanfaat bagi manusia secara luas.  Sangat terkenal bagaimana indah dan menariknya penataan waterfront di Eropa seperti di Venesia, Amsterdam, dan Paris atau juga Sydney, di Australia, sehingga menjadi tujuan wisata dan bisnis yang mendatangkan uang.  Dublin juga sedang giat-giatnya mengikuti langkah itu sehingga berhasil merubah wajah riverfrontnya.  Di Asia kita jumpai pula keindahan riverfront di Shanghai, Singapura, Malaka, dan Kucing.  Bahkan beberapa kota di Indonesia secata terbatas telah pula berhasil menata riverfront seperti Samarinda dan Semarang sehingga jadi lebih ramah lingkungan dan indah.

Pada siklus berikutnya, akan timbul kesadaran–bisa dari figur, komunitas, atau otoritas—untuk membenahi keadaan.  Keinginan itu tentu berdasarkan kesamaan pandang dan usaha bersama yang konsepsional dan implementatif.  Pendayagunaan kawasan riverfront menuju suatu ikon kota harus dilakukan dalam suatu visi dan misi dengan pendekatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta kalangan dunia usaha, dukungan para tokoh, dan pengaturan kelembagaan yang kuat dari otoritas.  Dengan aturan dan pengaturan yang kondusif serta pelaksanaan yang madani maka dengan biaya publik yang terbatas pun maka sebuah perencanaan partisipatif yang baik, menyeluruh, dan marketable akan dapat mewujudkan sebuah riverfront yang ramah lingkungan, indah, manfaat, dan menghasilkan pendapatan.

Mengikuti pembenahan kawasan yang tentunya telah didahului dengan penetapan tata ruang yang jujur dan berkeadilan, akan muncul pula pembenahan-pembenahan mikro seperti infrastruktur lokal,  pedestrian, taman, pusat dagang, pasar, fasilitas umum, dan sebagainya.  Para arsitek dan insinyur Insya Allah juga akan berlomba-lomba memberikan karya terbaiknya sehingga gedung-gedung, kawasan, dan kota akan menjadi lebih ramah, indah, dan bersebati dengan lingkungan alam.

Untuk menjaga kelestarian daerah, khususnya karena keberadaan air yang cukup berpengaruh dan lahan gambut yang kurang lebih 43 persen di provinsi ini, maka pengelolaan dan pengendalian pemerintahan juga akan dilakukan secara seksama dan bersungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat.  Pengembangan usaha oleh swasta dan masyarakat perlu dikendalikan dengan mengacu pada tata ruang yang realistis dan berwawasan lingkungan.  Sensitivitas daerah perairan, rawa, dan gambut menjadi pertimbangan penting dalam pemanfaatan lahan dan hutan sehingga dapat mengurangi berbagai bencana seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan.

Ini bukan mimpi yang utopis namun sebuah visi yang tanpa disadari sebenarnya sudah ada dalam diri seorang Melayu sejati.  Seorang Melayu mestilah mencintai lingkungan dan tidak berlebihan kecintaannya pada dunia.  Keinginan yang sangat berat dan kompleks ini tentu tidak bisa dikerjakan oleh satu dua orang namun haruslah secara bersama-sama dengan seorang pimpinan yang benar-benar berkualitas. Segala ciri kekurangan pada puak Melayu di perdesaan akan lebih mudah dan cepat terselesaikan dengan kuasa seorang pepimpin.

Seorang pemimpin di negeri Melayu bukan pemimpi tapi harus mampu melihat permasalahan rakyatnya secara jernih, dalam hal ini apa yang telah diuraikan sebelumnya.  Ia adalah seorang teguh memegang prinsip, tegas dalam menegakkan kebenaran, dan mengutamakan kepentingan rakyat dibanding kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya. Karena takut pada laknat Allah, ia akan menjalankan amanah dan kepemimpinannya dengan baik serta adil sehingga ia dipatuhi dan dicintai oleh rakyatnya.

Dalam Islam, diajarkan untuk taat kepada Allah, taat kepada Rasulnya, dan kepada ulil amri dari kelompoknya (Al-Quran surat An-Nisaa ayat 59).  Ulil amri itu mengadung pengertian orang menguruskan keperluan pengikutnya.  Jadi sekali seseorang dipilih jadi pemimpin maka ia sudah diamanahkan urusan keperluan-keperluan yang menjadi hak rakyatnya untuk disampaikan.  Sebaliknya seorang Melayu yang baik dan sadar bahwa ia tidak terpinggirkan tapi sudah dapat menjadi tuan di negeri sendiri, juga akan ta’at pada para pemimpin selama mereka masih melaksanakan shalat bersama dengan yang dipimpinnya.

bertuah rumah ada tuanya

bertuah negeri ada pucuknya

Dengan demikian, pemimpin itu akan bekerja keras dengan ikhlas, mampu membangun visi bersama dengan segenap komponen masyarakat, dan memanfaatkan sebesar-besarnya kompetensi dan potensi yang dapat dikelola.  Ketaqwaannya pada Allah membuat dia tidak mau mencampuradukkan yang hak dan batil dan ia akan senantiasa amanah dalam menjaga kekayaan daerah yang merupakan milik rakyat sampai ke generasi berikutnya.  Bila demikian, barulah dapat kita sebut ia seorang pemimpin yang visioner.  Dengan niat, keinginan dan kerja keras bersama, hal ini dapat kita mulai di Provinsi Riau, Insya Allah.

Disampaikan pada acara Sembang Petang LAM Riau tanggal 29 Agustus 2013 di Pekanbaru

UAS 21191894_1935000676712263_8984460293743637571_nUAS 21192383_1935000646712266_8963448009127443612_n

 

Mungkin kita heran kenapa sekolah dasar yang sangat diperlukan anak-anak dusun itu diadakan di Sadan yang hanya ada 11 rumah, sedangkan di Air Bomban ada 17 rumah.  Sadan terletak lebih di hulu dari Air Bomban  dan dengan jalan kaki perlu sekitar 40 menit menempuh hutan belukar yang berpacat dan naik turun bukit, termasuk menyeberangi satu sungai dengan mengharung, sebagaimana sudah digambarkan pada tulisan sebelumnya.

Anak-anak itu bergembira ketika mengetahui pahwa para peserta rihlah akan ikut berangkat bersama mereka ke Sadan pagi hari ke tiga itu.  Mungkin pengalaman ketika dikunjungi sebelumnya dan keingintahuan tentang acara hari itu di sekolah membuat mereka bersemangat dan bersepadu pula pada para peserta rihlah.  Sementara anak-anak berjalan dengan riang sambil ngobrol atau nyanyi-nyanyi kecil, para abang, paman, dan atuk pendatang terengah-engah dengan beberapa kali istirahat.

Dengan terengah-engah akhirnya kami sampai ke Sadan, langsung muncul ke sebuah lahan terbuka sekitar seluas setengah lapangan bola.  Di lapangan itu ada sebuah tempat tinggal guru, satu lokal ruang kelas, kantor guru dan tiang bendera yang diatasnya sedang berkibar selembar merah putih yang sudah kucal dan usang.  Acara kami hari itu memang tentang sekolah dan bendera itu.

Setelah istirahat sejenak, maka para “guru amatir” pun beraksi.  Berbagai materi spontan keluar: ada yang mencairkan suasana, ada yang mengenalkan adab kepada orangtua dan guru serta Allah Sang Maha Pencipta, mengajarkan matematika dengan materi semacam Sudoku, dan membahas konsepsi energi secara sederhana.  Anak-anak ini yang kecerdasannya tak kalah dengan teman-temannya di kota, demikian gembira dan responsif terhadap apa yang berlangsung di kelas.   Pembelajaran ditutup dengan interaksi yang menghibur oleh Ustadz Dede yang sebenarnya mengajar di Dusun Nunusan.

Sedikit gambaran tentang guru, Ustad Dede misalnya adalah seorang guru relawan yang dikirim oleh lembaga da’wah Dompet Dhuafa ke Nunusan yang berada di hilir Air Bomban.  Dengan dukungan sekadarnya beliau bermujahadah ke masyarakat Suku Talang Mamak dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh ini.  Alhamdulillah, masyarakat sangat menghormati seorang guru sehingga banyak kemudahan yang dibantu seperti keringanan biaya perahu kalau bepergian. Dengan jadwal mengajar yang bisa diatur sendiri kadang ia ikut mencari hasil hutan untuk tambahan belanja, demi terus bertahan mengajar anak-anak didik yang dicintainya.

Demikianlah sedikit gambaran sebagian orang-orang yang mewakafkan waktu dan kehendaknya untuk kepentingan tegaknya agama Allah di lingkungan pedalaman Riau ini.  Pengorbanan ini alhamdulillah sangat berarti bagi masyarakat Talang Mamak, khususnya para murid.  Alhamdulillah semangat mereka untuk maju secara parsial telah dapat tersalur melalui kegiatan sekolah, termasuk untuk mengenal dan mencintai Sang Merah Putih sebagaimana di Desa Sadan ini.  Bersatu padu dengan berbagai pihak dan lembaga amal, hasil sinergi da’wah ke Talang Mamak ini antara lain telah diangsur pendirian pondok tahfizh dan beberapa anak telah dikirim belajar ke luar.

Kiprah para pejuang yang bermanfaat dan memajukan masyarakat ini tentu bernilai amal sholeh, In sya Allah. Keadaan inilah yang telah menggugah lubuk hati UAS untuk mengagendakan kunjungannya ke daerah ini dua kali setahun di tengah kesibukannya yang super padat.  Mudah-mudahan Allah memudahkan upaya yang dilakukan para pejuang di jalan Allah.

L A B A N

LABAN

Ketika umroh 10 hari akhir Ramadhan tahun 2014, kami mendapatkan banyak kesan istimewa.  Ketika sampai di Makkah tanggal 20 Ramadhan, suasana Masjidil Haram sudah ramai sehingga sulit mendapatkan tempat untuk sholat.  Namun dengan upaya yang tak henti dan mempercepat kedatangan setiap kalinya, dua hari kemudian baru dapat tempat yang tetap untuk menjalani i’tikaf delapan hari yang tersisa.

Ketika itu sudah diberlakukan blok jama’ah yang tidak bercampur baur, khususnya dalam blok jama’ah i’tikaf.  Dengan pertolongan Allah, kami dapat tempat di sebelah seorang Melayu Pattani mukimin Makkah tapi masih bisa berbahasa Melayu.  Dalam blok yang diisi oleh berbagai bangsa itu, per shaf rupanya sudah ada konvensi saling tolong menolong agar dan menjaga tempat jika ada keperluan keluar.  Inilah kesan yang pertama karena Alhamdulillah kami dapat menjalani i’tikaf dengan baik, termasuk pelayanan buka puasa oleh orag yang berinfaq.

Empat shaf dalam blok itu dengan jumlah sekitar 100 orang rupanya merupakan lahan berinfaq seseorang pengusaha yang menurut si saudara Pattani itu selama sebulan yang didapat secara berebut. Shaf yang depan menghadap ke belakang dan diantaranya dibentangkan lembaran plastik sepanjang shaf; demikian pula dua shaf lainnya sehingga ada dua baris jamaah yang berhadap-hadapan yang kemudian di atas bentangan plastik oleh pelayan petugas dari yang berinfaq diletakkan ta’jil untuk masing-masing jama’ah.

Ini merupakan kesan kedua; dalam Ramadhan orang berebut untuk menyediakan ta’jil di Masjidil Haram, lengkap dengan seluruh pelayanannya. Dua orang melayani dengan sangat cekatan sejak membentang alas plastik, membagikan makanan, sampai mengumpulkan sampah dan menggulung   kembali alas plastik sehingga sholat Maghrib dapat berjalan dengan baik dan rapi.  Bagi jama’ah i’tikaf 24 jam yang memerlukan, juga akan diberikan makanan lebih.  Tidak hanya pelayan tersebut yang sibuk, para jama’ah juga saling membantu dan memberi sehingga terasa sebagai saudara.

Situasi yang penuh ukhuwwah ini menghentak ke dalam hati, khususnya ketika menikmati ta’jil yang dibagikan.  Hati yang semula gembira karena dapat kemudahan untuk berbuka puasa dan sholat Maghrib, merasa digugah: “Kok merasa senang menerima ta’jil ini, bukankah engkau yang seharusnya memberi?”  Alhamdulillah, dibukakan jalan untuk lebih membersihkan hati setelah empat hari bersama saudara-saudara baru jama’ah i’tikaf.

Esoknya, setelah berfikir keras diputuskanlah untuk membawa ke masjid sejerigen kecil laban, susu yang sedikit.  Dengan bagpack yang berisi jerigen itu berjalanlah dengan berdebar-debar ke pintu masjid.  Uupps… benar, lasykar penjaga langsung menghentikan dan dengan muka seram memrintahkan untuk ke tepi dan membuka bagpack.  Namun setelah dia melihat da meastikan jerigen berisi laban itu, dia tersenyum dan mempersilakan masuk yang dilengkapi dengan bahasa tubuh berupa gerakan tangan dan kepala; sangat ramah dan penuh appresiasi.

Kesan ini masih berlanjut di dalam masjid.  Ketika cangkir sudah diedarkan, kami mengeluarkan laban dan langsung menawarkan kepada yang di sekitar.  Alhamdulillah, minat jama’ah kuat sekali sehingga jerigen itu segera kosong.  Si saudara Pattani menjelaskan, laban memang sangat disukai saudara-saudara kita di Timur Tengah, apalagi untuk berbuka puasa.  Jadilah saya pemanggul laban selama lima hari sampai akhir Ramadhan. Semoga Allah mencurahkan rizki pada kita semua.

poster pilkada

Seseorang yang ikhlas In sya Allah akan jauh dari pamrih atau riya.  Pamrih adalah keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang dilakukannya bagi diri yang bersangkutan.  Riya lebih berkonotasi untuk mendapatkan pujian yang tetap bermura pada keuntungan pelakunya.

Mungkin kita sepakat bahwa nilai-nilai praktis kepemimpinan hari ini bertolak belakang dengan tauladan Rasulullah dan para khalifah yang mestinya kita rujuk.  Rasulullah sangat berorientasi pada kepentingan ummat yang diikuti pula oleh para khalifah yang memahami bahwa pemimpin pemerintahan itu adalah pelayan ummat yang kelak akan Allah minta pertanggungjawabannya.  Karena itu, dengan niat yang ikhlas maka kepemimpinan yang diamanahkan dijadikan sebagai amal ibadah.

Sementara itu nilai-nilai praktis materialistik-hedonistik hari ini sangat mempengaruhi kepemimpinan.  Dalam sistem kehidupan bernegara kita, aspek material sangat menonjol sejak proses pemilihan sehingga muncul istilah money politik.  Para calon yang bisa maju mestilah yang “siap dengan amunisi” dalam jumlah yang mencengangkan.  Sebagai contoh, menurut Dr. Muradi, seorang pengamat politik dari Unpad, seorang calon gubernur lewat jalur independen yang berbiaya paling rendah, masih perlu biaya beli materai saja sampai Rp14,4 milyar (http://www.tribunnews.com/regional/2017/11/26/beratnya-calon-independen-pilgub-jabar-biaya-materai-saja-butuh-rp-144-miliar).

Kenapa tetap banyak orang yang berusaha jadi pemimpin formal atau politik?  Karena dalam kultur kenegaraan dan politik kita, pada jabatan-jabatan itu melekat berbagai fasilitas dan pendapatan yang memadai dan mudah.  Pada banyak kasus hukum, para pemimpin yang tergelincir adalah karena terbuka peluang penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, oranglain, atau kelompok.

Kadang yang ada pula orang yang membungkus niatnya dengan kata aktualisasi diri.  Bila dari satu sisi misalnya dunia usaha ia sudah berhasil maka timbul pula keinginan untuk membangun eksistensi diri dalam lingkup politik atau pemerintahan.  Banyak orang yang berhasil dalam bidangnya lalu berhasil pula menjadi politisi atau pemimpin formal namun tak kurang banyak pula yang akhirnya tergelincir oleh berbagai godaan duniawi.  Meskipun berkoar-koar sebagai orang yang membela kepentingan rakyat, tapi masuk juga ke dalam perangkap gemerlapnya fasilitas, sanjungan, dan rente sehingga lupa pada perjuangan untuk rakyat yang jadi tujuan semula. Sudah tersurat dalam sejarah kehisupan manusia dalam Al-Quran, bagaikan minum air laut, nafsu kekuasaan itu tak akan pernah memuaskan diri manusia.

Hal inilah yang menimbulkan kecederungan pamrih dan riya bukan merupakan aib tapi menjadi lazim.   Untuk itu pula orang yang maju dalam pilkada berani mengeluarkan biaya politik yang sangat besar.  Menurut Ahmad Rofiq, seorang guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang, untuk tingkat gubernur, uang yang harus dikeluarkan bisa mencapai Rp 350 miliar lebih.

(https://regional.kompas.com/read/2018/02/13/17170031/biaya-untuk-jadi-kepala-daerah-lebih-dari-rp-350-miliar).

Pengeluaran ini jelas tidak sebanding dengan pendapatannya kelak bila terpilih.  Bila itu bukan dari kantongnya sendiri, dari sinilah nanti masalah akan bermula.  Kecenderungan ini cukup jadi indikasi bagaimana niat seorang calon itu, apakah ia akan mengurus rakyat dan negeri atau sebaliknya justru akan jadi bagian dari masalah yang menyusahkan.

Sesuai dengan ketauladanan Rasululah yang disebut tabligh yang artinya menyampaikan, salah satu karakter yang diharapkan dari seorang pemimpin adalah kemampuannya dalam menyampaikan atau mengajarkan underordinate-nya.  Sebagai panutan, dia hendaknya memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik, bernas, dan produktif.  Dia tahu cara berkomunikasi kepada para pihak yang sedang dihadapinya; apakah kepada seorang siswa sekolah, jajaran pegawainya, para ibu rumah tangga, atau tokoh masyarakat.

Belajar dari sejarah Rasulullah, baginda tidak pernah menyembunyikan kekurangan dirinya dan bahkan teguran yang diberikan Allah pada baginda melalui wahyu.  Karena itu seorang pemimpin yang baik juga harus siap untuk menyampaikan keadaan apapun yang berkaitan dengan dirinya dalam rangka meningkatkan kinerja atau memperbaiki keadaan agar lebih baik.  Bila tidak, suatu kelemahan atau keburukan yang disembunyikan tanpa diperbaiki, cenderung akan jadi “bom waktu” yang untuk memperbaiki kerusakannya makin lama makin berat dan sulit.

Bersama dengan ketauladanan fathonah, sifat tabligh ini tercermin dari bagaimana seorang pemimpin itu berkomunikasi dengan jajaran kerjanya dan jejaring pengembangan yang bisa dibangunnya.  Mengacu pada sifat Rasulullah berbahasa yang disebut jawami’ul kalim (berkata ringkas tapi padat makna), kepada jajarannya seorang pemimpin diharapkan mampu memberikan arahan yang jelas, tegas, dan terukur agar jadi kebijakan dan langkah yang produktif.

Dia tidak mengumbar janji, banyak slogan, dan berteori di awang-awang tanpa realisasi.   Dia faham mana yang patut dan yang tak patut dikatakan serta mana yang sanggup dan tidak sanggup dia lakukan.  Selanjutnya kepada berbagai fihak eksternal lembaganya dan publik, dia bisa berkomunikasi dengan baik dan santun sehingga mudah mendapat dukungan dari stakeholders dan membangun jejaring kerjasama.

Ketauladan ini membuat Rasulullah dapat mengembangkan negara madani yang berbasis di Madinah dalam waktu yang relatif singkat.  Tetap dengan dukungan para sahabat, beliau bisa berkomunikasi secara baik dengan orang Yahudi dan Nasrani dan tetap menjaga batasan akidah.  Mereka yang tidak berkhianat hidup dengan tenang dan damai bersama kaum Muslimin serta mendapat perlindungan Rasulullah.

Fathonah atau cerdas adalah sifat yang mutlak diperlukan oleh seorang pemimpin.  Cerdas itu juga mesti komplit: intelektual, emosional, dan spiritual.  Seorang pemimpin yang cerdas atau pandai tidak hanya cepat dan tepat dalam melakukan kalkulasi tapi juga dalam memahami suatu persoalan, termasuk yang mendadak, dan juga dalam mengambil keputusan.  Perlu jadi catatan, sifat ini tidak mutlak datang dari gelar akademis, apalagi jika gelar itu berorientasi pada upaya untuk menaikkan rating atau status tanpa pengaruh pada peningkatan kemampuan.

Seorang yang cerdas pada posisinya akan menunjukkan kemampuan dan wawasan yang sebanding dengan posisi yang diembannya.  Karena itu ia adalah seorang yang cergas dan bijak namun tegas dalam memimpin.  Jika dalam suatu hal ia kurang faham, ia tidak akan memendam masalah yang ada tapi tahu bagaimana cara untuk segera mengetahui masalahnya dan akan menggunakan narasumber atau referensi yang meyakinkan.  Ia juga seorang yang piawai dalam memanfaatkan potensi underordinate-nya.

Untuk negeri kita yang dalam keadaan memprihatinkan sekarang ini, kita memerlukan pemimpin seperti ini.  Sangat banyak masalah ummat dan negeri yang harus diselesaikan secara konsepsional dan komprehensip.  Sebagaimana tuntunan Rasulullah, bila suatu masalah tidak diberikan pada ahlinya, tunggulah kehancuran.  Sebagaimana peringatan Rasulullah, kita tentu tidak ingin mengalami fenomena ruwaibidhah yaitu orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.

Karena kita ingin kemaslahatan ummat meningkat yang seiring kemajuan negeri, maka jangan sampai kita pertaruhkan kepemimpinan ini pada orang yang cuma pantai membangun citra, lamban dalam bertindak dan mengambil keputusan, tidak punya konsep yang komprehensip untuk memajukan rakyat dan negeri.  Ia bukan pula yang maju jadi pemimpin untuk menjalankan skenario seorang master mind.  Akan sia-sia bila kita mengandalkan gelembung-gelembung air yang lemah dan kosong.

Fenomena CPNS

fenomena PNS

Kita semua faham bahwa CPNS itu status seseorang calon yang dalam proses untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil.  Secara formal, ia lolos seleksi aministrasi, kesehatan, psikologi, dan sikap mental dan mungkin syarat-syarat yang lainnya lagi.  Sebagai masa percobaan, para CPNS pada umumnya menunjukkan karakter yang baik dan kinerja yang maksimal, tentunya dengan harapan dapat segera dihapus status calonnya itu.

Ketika telah menjadi pegawai tetap, anehnya kebanyakan mereka berubah secara signifikan.  Kalau biasanya rajin, mulai menurun atau menjadi malas; biasanya cekatan menjadi lebih lamban, dari disiplin bisa berubah jadi kurang tertib sebagaimana yang dikatakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2011.

Kita semua faham bahwa CPNS itu status seseorang calon yang dalam proses untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil.  Secara formal, ia lolos seleksi aministrasi, kesehatan, psikologi, dan sikap mental dan mungkin syarat-syarat yang lainnya lagi.  Sebagai masa percobaan, para CPNS pada umumnya menunjukkan karakter yang baik dan kinerja yang maksimal, tentunya dengan harapan dapat segera dihapus status calonnya itu.

Ketika telah menjadi pegawai tetap, anehnya kebanyakan mereka berubah secara signifikan.  Kalau biasanya rajin, mulai menurun atau menjadi malas; biasanya cekatan menjadi lebih lamban, dari disiplin bisa berubah jadi kurang tertib sebagaimana yang dikatakan Menteri Pendayagunaan Aparatus Negara dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2011.  Terlepas dari penyebabnya, ini mungkin dapat disebut sebagai fenomena CPNS.

Akan tetapi, bila kita cermati, fenomena itu terjadi tidak hanya di lingkungan kantor pemerintah tapi juga di lingkungan swasta dan dunia usaha.  Bedanya, di swasta atau lembaga non-pemerintah, mungkin penurunan disiplin dan kinerja itu tidak terlalu nampak karena pengendalian produktivitas relatif ketat.  Apapun, disiplin dan kinerja terbaik yang pernah mereka tunjukkan ketika masih sebagai calon pegawai kemungkinan besar semu atau tidak datang dari hati.

Sesungguhnya, tanpa disadari ada dua kerugian yang diderita oleh seseorang yang terjebak fenomena ini.  Pertama, bila kerja berdasarkan niat yang lurus karena Alah maka ia akan jadi amal ibadah sehingga tidak ada pekerjaan yang dirasakan berat atau dibayar tidak setimpal.  Kedua, penilaian atasan dan orang yang mengamatinya jadi negatif yang biasanya akan menempel seterusnya atau untuk waktu lama.  Hal ini akan merugikan dirinya sendiri dalam pengembangan karir dan profesionalitasnya.

Pilih kelompok mana, yang banyak tapi terjebak fenomena CPNS atau yang sedikit yang banyak dicari orang karena lebih displin, rajin, dan produktif?  Semoga Allah membimbing kita.

erlepas dari penyebabnya, ini mungkin dapat disebut sebagai fenomena CPNS.

Akan tetapi, bila kita cermati, fenomena itu terjadi tidak hanya di lingkungan kantor pemerintah tapi juga di lingkungan swasta dan dunia usaha.  Bedanya, di swasta atau lembaga non-pemerintah, mungkin penurunan disiplin dan kinerja itu tidak terlalu nampak karena pengendalian produktivitas relatif ketat.  Apapun, disiplin dan kinerja terbaik yang pernah mereka tunjukkan ketika masih sebagai calon pegawai kemungkinan besar semu atau tidak datang dari hati.

Sesungguhnya, tanpa disadari ada dua kerugian yang diderita oleh seseorang yang terjebak fenomena ini.  Pertama, bila kerja berdasarkan niat yang lurus karena Alah maka ia akan jadi amal ibadah sehingga tidak ada pekerjaan yang dirasakan berat atau dibayar tidak setimpal.  Kedua, penilaian atasan dan orang yang mengamatinya jadi negatif yang biasanya akan menempel seterusnya atau untuk waktu lama.  Hal ini akan merugikan dirinya sendiri dalam pengembangan karir dan profesionalitasnya.

Pilih kelompok mana, yang banyak tapi terjebak fenomena CPNS atau yang sedikit yang banyak dicari orang karena lebih displin, rajin, dan produktif?  Semoga Allah membimbing kita.

Mendadak

Semua kita faham makna kata mendadak sebab sering kita gunakan atau jumpai.  Pada tulisan ini, mendadak maksudnya adalah suatu keadaan yang berubah ke keadaan lain secara tiba-tiba atau tanpa diketahui tanda-tandanya terlebih dahulu.  Sebagai contoh penggunaan kata ini: “serangan mendadak para gerilyawan” dan “mati mendadak karena serangan jantung.”

Sekarang kata ini sering pula dipakai dalam budaya pop.  Beberapa tahun lalu popular mendadak dangdut sebagai bahasa satir bagi orang yang dulunya tak akrab, bahkan benci, dengan musik dangdut tiba-tiba malah ikut-ikutan menyanyikannya.  Terlepas dari masalah budaya musik, perilaku pelakunya, dan syair-syairnya yang merupakan topik sendiri, ini sebagai contoh aktual saja untuk memahami apa yang ingin kita bicarakan.  Sebab seseorang jadi mendadak dangdut mungkin karena terus menerus diserbu oleh musik itu di berbagai tempat dan kesempatan sehingga akhirnya ikut-ikutan menyanyikannya atau karena motif suatu kepentingan sempit atau sesaat.

Motif kepentingan ini sah-sah saja selama tidak ada norma dan aturan hukum yang dilanggar. Namun terasa satir ketika ada etika yang ditabrak atau seperti setiap kalinya, dibalik kata kepentingan seperti itu ada konotasi negatif yang secara mendadak pula menurunkan martabat pelakunya.  Apatah lagi bila itu terjadi karena terkait ke harta, jabatan, atau keuntungan lain bagi kelompok atau dirinya tapi merugikan orang lain.  Hal ini karena kemuliaan seorang manusia bukan terletak pada kelebihan aspek kebendaan (fisikal) dan keduniawian tapi pada keunggulan kerohaniannya yang dimunculkan akal budi dan iman.

Itulah sebabnya akhir-akhir ini kita menjadi miris ketika seseorang disebut mendadak baik, mendadak menyumbang, mendadak peduli, mendadak blusukan, mendadak ke masjid, mendadak sholat, mendadak ngustadz, dan sebagainya.  Kita miris dan muak, bila kita tahu pelakunya sebelumnya tidak seperti itu, bahkan jauh dari perilaku terpuji demikian.  Apalagi bila kita tahu pula penyebabnya karena pencitraan yang berkaitan dengan kita seperti proses pemilu.  Mungkin banyak pula contoh perilaku yang muncul mendadak itu dengan cepat hilang pula setelah tujuannya tercapai sehingga secara otomatis  jatuhlah martabatnya.

Akan tetapi ada pula perilaku mendadak seseorang yang dinilai positif karena memang penuh kebaikan, ikhlas, konsisten, dan kemudian kebaikannya menyebar ke hal lain.  Sebagai misal, seseorang yang mendadak tobat adalah positif jika itu karena kesadaran yang dihayatinya, menyesalinya, dilakukan dengan ikhlas, tidak mengulanginya, konsisten (istiqomah) dalam kebaikan, dan ia lengkapi dengan memperbaiki akhlaknya serta memperbanyak ibadah dan amal kebajikan.  Ini tidak dapat dinilai secara tergesa-gesa tapi waktu yang akan membuktikannya.  Bagi seorang peserta pemilu, sejarah yang akan mencatat apakah ia memang berperilaku baik dan benar atau hanya sekedar pencitraan yang bisa jatuh ke sifat munafiq sehingga anak cucu jadi benci karena dapat warisan keburukan. Naudzubillahi min dzalik.