di mana air disauk
di situ ranting dipatah
Dua baris petuah Melayu dari buku Pak Tenas Effendi di atas dapat jadi titik awal berangkat bila kita ingin bicara tentang rancang bangun yang dinamis di lingkungan puak Melayu. Baris pertama menggambarkan tempat dimana seorang Melayu mendapatkan nafkah utamanya yaitu berupa air sebagai sumber kehidupan. Baris kedua mewasiatkan agar orang itu mengembangkan kehidupannya di bumi yang dijelajahinya itu.
Dalam suatu kesempatan, pak Tenas pernah menjelaskan kurang lebih bahwa “ranting dipatah” itu menggambarkan bahwa alam itu harus dimajukan untuk kepentingan manusia namun secara bijak dan berpada-pada. Meskipun ranting merupakan bagian terkecil dari suatu pohon kayu namun sudah cukup berarti bagi kehidupan manusia. Kita pun dapat merasakan bahwa mematahkan ranting secara selektif dan bergilir tidaklah akan membinasakan pohonnya, sebaliknya dapat dipandang sebagai penerapan dari sustainable harvesting pada puak Melayu. Yang jadi pertanyaan adalah siapa puak Melayu itu?
Kita tidak akan berbicara tentang manusia Deutro-Melayu yang datang ke Nusantara sekitar tahun 300 SM lalu tapi keturunan mereka yang telah bercampur baur dengan kelompok yang datang lebih dahulu dan yang menyusul kemudian, termasuk yang membawa Islam. Menurut DR Mahdini, Melayu adalah suku bangsa yang mendiami di wilayah-wilayah Islam di Indonesia, Malaysia, Patani (Thailand Selatan), dan Mindanao (Filipina Selatan). Rumpun ini memiliki identitas yang jelas melalui agama Islam dan kesamaan bahasa yang dipakai. Jadi, sebagaimana juga pemahaman di Malaysia hari ini, penyebutan Melayu bukan lagi untuk menunjuk pada suatu ras atau etnis dengan ciri fisik tertentu namun lebih pada kesamaan manhaj atau tata cara kehidupan dan budaya yang mengacu pada agama Islam.
Mungkin ada yang tidak sepakat dengat batasan bahasa dan agama ini karena ingin meremang-remangkannya kembali dengan kata sejarah dan budaya. Memang nenek moyang kita mengalami berbagai fasa sejak Pra-Hindu-Budha, Hindu Budha, Islam, sampai Kolonialisme, akan tetapi sudah menjadi Rahmat bahwa Islam tertanam dengan kuat pada mayoritas orang Melayu sampai hari ini. Bila disebutkan ada bangsawan yang secara perseorangan menggunakan identitas Islam untuk mendapatkan dukungan rakyat guna menghadapi kolonial tentu tidak dapat dijadikan dasar untuk menyalahkan pemilihan terhadap Islam itu. Tanpa maksud menafikan keberagaman dan akan merugikan keyakinan lain, sebagai penganut Islam yang baik dan benar, orang Melayu semestinya sangat berbahagia dengan dua entitas utama tadi: Bahasa Melayu yang telah diadopsi jadi Bahasa Indonesia dan Agama Islam.
Dalam buku Tunjuk Ajar Melayu, Pak Tenas secara arif menyampaikan bagaimana orang Melayu diwajibkan mempelajari ilmu dan teknologi yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, budaya, dan nilai-nilai luhur adat istiadatnya. Dalam wujud dan jenis apapun, ilmu harus ditapis dengan akidah Islam dan diserasikan dengan budaya dan norma sosial yang dianut masyarakat. Orang Melayu dilarang keras bertelikai apatah lagi menyalahi nilai-nilai dan norma sosial yang merujuk pada ajaran Islam itu; yang bengkok diluruskan, yang tak baik dibuang.
Dengan demikian, dalam konteks ini dapat kita sebutkan bahwa yang disebut puak Melayu itu adalah penduduk atau masyarakat yang berdiam di Riau yang beragama Islam, berbahasa Melayu atau Indonesia, dan melaksanakan tata cara hidup (manhaj atau budaya) sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial berdasarkan ajaran Islam. Definisi ini dengan sendirinya dapat menampung penganut Islam yang telah hidup beranak pinak dan membaur di Provinsi Riau, tanpa melihat asal usul etnis atau ciri fisiknya secara sempit. Adalah kewajiban bagi orang Melayu untuk berinteraksi dengan baik terhadap siapapun dan senantiasa berbuat kebaikan, apatah lagi di negerinya sendiri, Provinsi Riau yang sama-sama kita cintai.
Dewasa ini, jumlah penduduk Provinsi Riau 5,9 juta lebih dengan pertumbuhan sebesar 3,76 persen (2010) yang menggambarkan manisnya gula di negeri ini. Sebagian besar penduduk berada di perdesaan (rural) pada daerah-daerah pesisir, pantai dan muara, sepanjang sungai, suak dan danau atau dataran dan bukit di sekitar hutan atau lahan bukaan. Pada umumnya penduduk perdesaan secara tradisional hidup dari sektor pertanian dalam arti luas dengan ciri minim infrastruktur dan pelayanan umum, terbatas akses modal dan pasar, lemah peningkatan produktivitas, lesu pembinaan sosial-agama, namun nampaknya sangat dinamis.
Meskipun di Riau demikian banyak beroperasi perusahan besar dan bahkan mutlinasional, namun belum banyak merubah wajah tradisional tadi secara ekonomi karena Riau bukan dianggap sebagai ladang tapi lebih sebagai padang perburuan. Pelaku-pelaku ekonomi dan kaki tangan terkait yang ada di gerbong depan sangat sedikit yang dari kelompok Melayu tadi. Dengan pendekatan “Earning di Riau, Spending di Jakarta” sebagaimana yang dikatakan Prof Lilik Hendrajaya waktu jadi Rektor ITB dulu, atau para pengusaha yang membuat akronim Riau menjadi “Ramai-ramai Ingin Ambil Uang” maka makin menderulah bulldozer-buldozer kapital masuk ke pelosok tanah ulayat suku-sakat yang bukan tak mungkin meluluh-lantakkan pula hutan larangan yang selama ini dikawal dengan kearifan lokal. Dalam sistem yang tidak handal dan tata nilai yang sangat dipengaruhi oleh cinta dunia yang luar biasa hari ini, maka tesisalah bidang-bidang lahan yang tak jelas pula statusnya dan pasti tidak akan mencukupi lagi untuk generasi berikutnya.
Bila sementara orang mendapat manfaat dengan kondisi yang digambarkan bagus oleh indikator ekonomi makro ini adalah suatu kewajaran. Pertumbuhan ekonomi tanpa migas Provinsi Riau dalam lima tahun terakhir ini berkisar antara 6 sampai 8 persen, yang selalu di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional. Indikator lain juga menunjukkan angka yang bagus dan kita telah berhasil menurunkan jumlah pengangguran dan kemiskinan, meskipun belum secara signifikan.
Di lain pihak, bila kita cermati pula APBD se Provinsi Riau yang dalam lima tahun terakhir berjumlah sekitar Rp55 triliun, belum terasa bahwa bagusnya indikator ekonomi ini merupakan tetesan dari kinerja kolektif dan sinergis. Hal ini bisa kita telusuri dari jenis dan besaran program atau kegiatan yang masih kurang tepat, alokasi yang relatif besar untuk belanja pegawai, dan belanja modal yang hanya sekitar 30 persen saja dari total APBD padahal fungsinya untuk menstimulasi tumbuhnya kegiatan ekonomi. Muaranya adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang meningkat tidak signifikan dan tidak sebanding dengan kucuran anggaran daerah.
Aspek pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam dan pengelolaan adminsitrasi keuangan daerah di atas sudah sepatutnya jadi pelajaran berharga bagi kita ke depan. Secara logis kita perlu menyusur kembali ke pangkal jalan untuk membenahi apa yang berantakan, mencukupkan apa yang kurang, dan meluruskan apa yang bengkok. Pemanfaatan sumberdaya alam dan kekayaan daerah juga tidak hanya untuk kita hari ini namun harus dapat terjaga dan kita wariskan kepada generasi berikutnya, sebagaimana tunjuk ajar Melayu agar bersebati dengan alam.
Kalau tidak ada laut, hampalah perut
Bila taka da hutan, binasalah badan
Berkaitan dengan ini, alam telah mengajarkan kearifan lokal pada orang Melayu. Adanya empat sungai besar yang bermuara ke Selat Malaka dengan pulau-pulau endapan alluvial dan tanah gambut, telah memolakan pula permukiman dan pergerakan masyarakat perdesaan. Penduduk tradisional banyak bermukim di pesisir, selat, muara, sepanjang sungai, suak dan danau dengan mengadalkan keberadaan air untuk keperluan kehidupan selaku seorang Muslim dan sebagai sumber nafkah serta moda transportasi. Mereka tidak semena-mena menjadikan sungai atau perairan sebagai backyard tempat untuk mencampakkan segala kotoran.
Dalam Masterplan Provinsi Riau yang dibuat sekitar 10 tahun lalu namun tak jadi dimanfaatkan, telah disarankan agar kita mengacu kepala kearifan lokal yang berorientasi ke sungai dan perairan. Sungai dan pesisir dijadikan modal berharga yang sudah given yang dapat didayagunakan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat.
Diperkirakan akan lebih baik jika bergerak transversal terhadap sungai yang ketika itu masih banyak dimanfaatkan masyarakat sehingga dapat menghemat biaya untuk berbagai infrastruktur dibandingkan jika kita bergerak lateral terhadap sungai. Jadinya infrastruktur besar yang harus kita bangun lebih sedikit dan bisa menambah yang dengan hirarkinya untuk mencapai perdesaan sehingga akan sangat memudahkan bila jalan aspal sampai ke tepi jerambah atau kebun rakyat. Pemikiran para konsultan ahli yang menyusun masterplan itu tentu tidak sembarangan dan mereka memang telah mencermati kehidupan rakyat Riau di perdesaan yang banyak di riverfront.
Riverfront adalah kawasan yang mengikuti tepi (bantaran) sungai yang menjadi bagian dari suatu kepentingan. Pada sebuah rumah yang menghadap ke sungai maka tepiannya adalah sebuah riverfront baginya; sebuah taman atau kampung di sepanjang sungai yang memiliki ruang sampai ke sungai maka kawasan tepinya adalah riverfront darinya. Sebuah kota yang di dalamnya mengalir sebuah sungai maka kawasan sepanjang kiri-kanan sungai sampai selebar jarak pengaruh sungai itu dapat dikatakan riverfront dari kota itu atau waterfront kalau terhubung ke laut atau danau.
Pekanbaru misalnya, tumbuh dari permukiman kecil tradisional yang kehidupannya banyak bergantung pada sungai. Sifat hidup manusia yang suka berkelompok membuat sebuah titik mula-mula ditempati oleh beberapa rumah saja, kemudian jumlahnya terus bertambah secara linier mengikuti sungai yang memang diandalkan untuk transportasi dan sumber kehidupan. Ketika jarak terasa jauh untuk zaman itu, maka sesuai dengan kearifan lokal yang ada, daerah di seberangnya mulai diisi dan jalan setapak di sepanjang tepi sungai juga dibuat sehingga dari sebuah dusun ia menjadi kampung lalu sebuah kota.
Ketika orientasi nilai dan norma berubah serta kepentingan materialisme manusia telah mengabaikan kepentingan alam, maka orang berebut-rebut mendapatkan lahan dan cenderung memperlakukan sungai hanya sebagai prasarana yang dapat diutilisasi sesukanya. Riverfront secara alami menjadi kawasan berfungsi campuran untuk permukiman, rekreasi, pasar, pelabuhan, gudang, dan sebagainya. Tanpa sentuhan otoritas, sungai kemudian menjadi backyard sehingga riverfront yang sebenarnya berharga bagi peri kehidupan manusia ini malah berubah menjadi daerah kumuh dan kacau balau (slum area).
Padahal, di negara-negara maju, riverfront atau waterfront dijadikan suatu lingkungan bagus dan bermanfaat bagi manusia secara luas. Sangat terkenal bagaimana indah dan menariknya penataan waterfront di Eropa seperti di Venesia, Amsterdam, dan Paris atau juga Sydney, di Australia, sehingga menjadi tujuan wisata dan bisnis yang mendatangkan uang. Dublin juga sedang giat-giatnya mengikuti langkah itu sehingga berhasil merubah wajah riverfrontnya. Di Asia kita jumpai pula keindahan riverfront di Shanghai, Singapura, Malaka, dan Kucing. Bahkan beberapa kota di Indonesia secata terbatas telah pula berhasil menata riverfront seperti Samarinda dan Semarang sehingga jadi lebih ramah lingkungan dan indah.
Pada siklus berikutnya, akan timbul kesadaran–bisa dari figur, komunitas, atau otoritas—untuk membenahi keadaan. Keinginan itu tentu berdasarkan kesamaan pandang dan usaha bersama yang konsepsional dan implementatif. Pendayagunaan kawasan riverfront menuju suatu ikon kota harus dilakukan dalam suatu visi dan misi dengan pendekatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta kalangan dunia usaha, dukungan para tokoh, dan pengaturan kelembagaan yang kuat dari otoritas. Dengan aturan dan pengaturan yang kondusif serta pelaksanaan yang madani maka dengan biaya publik yang terbatas pun maka sebuah perencanaan partisipatif yang baik, menyeluruh, dan marketable akan dapat mewujudkan sebuah riverfront yang ramah lingkungan, indah, manfaat, dan menghasilkan pendapatan.
Mengikuti pembenahan kawasan yang tentunya telah didahului dengan penetapan tata ruang yang jujur dan berkeadilan, akan muncul pula pembenahan-pembenahan mikro seperti infrastruktur lokal, pedestrian, taman, pusat dagang, pasar, fasilitas umum, dan sebagainya. Para arsitek dan insinyur Insya Allah juga akan berlomba-lomba memberikan karya terbaiknya sehingga gedung-gedung, kawasan, dan kota akan menjadi lebih ramah, indah, dan bersebati dengan lingkungan alam.
Untuk menjaga kelestarian daerah, khususnya karena keberadaan air yang cukup berpengaruh dan lahan gambut yang kurang lebih 43 persen di provinsi ini, maka pengelolaan dan pengendalian pemerintahan juga akan dilakukan secara seksama dan bersungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat. Pengembangan usaha oleh swasta dan masyarakat perlu dikendalikan dengan mengacu pada tata ruang yang realistis dan berwawasan lingkungan. Sensitivitas daerah perairan, rawa, dan gambut menjadi pertimbangan penting dalam pemanfaatan lahan dan hutan sehingga dapat mengurangi berbagai bencana seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan.
Ini bukan mimpi yang utopis namun sebuah visi yang tanpa disadari sebenarnya sudah ada dalam diri seorang Melayu sejati. Seorang Melayu mestilah mencintai lingkungan dan tidak berlebihan kecintaannya pada dunia. Keinginan yang sangat berat dan kompleks ini tentu tidak bisa dikerjakan oleh satu dua orang namun haruslah secara bersama-sama dengan seorang pimpinan yang benar-benar berkualitas. Segala ciri kekurangan pada puak Melayu di perdesaan akan lebih mudah dan cepat terselesaikan dengan kuasa seorang pepimpin.
Seorang pemimpin di negeri Melayu bukan pemimpi tapi harus mampu melihat permasalahan rakyatnya secara jernih, dalam hal ini apa yang telah diuraikan sebelumnya. Ia adalah seorang teguh memegang prinsip, tegas dalam menegakkan kebenaran, dan mengutamakan kepentingan rakyat dibanding kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya. Karena takut pada laknat Allah, ia akan menjalankan amanah dan kepemimpinannya dengan baik serta adil sehingga ia dipatuhi dan dicintai oleh rakyatnya.
Dalam Islam, diajarkan untuk taat kepada Allah, taat kepada Rasulnya, dan kepada ulil amri dari kelompoknya (Al-Quran surat An-Nisaa ayat 59). Ulil amri itu mengadung pengertian orang menguruskan keperluan pengikutnya. Jadi sekali seseorang dipilih jadi pemimpin maka ia sudah diamanahkan urusan keperluan-keperluan yang menjadi hak rakyatnya untuk disampaikan. Sebaliknya seorang Melayu yang baik dan sadar bahwa ia tidak terpinggirkan tapi sudah dapat menjadi tuan di negeri sendiri, juga akan ta’at pada para pemimpin selama mereka masih melaksanakan shalat bersama dengan yang dipimpinnya.
bertuah rumah ada tuanya
bertuah negeri ada pucuknya
Dengan demikian, pemimpin itu akan bekerja keras dengan ikhlas, mampu membangun visi bersama dengan segenap komponen masyarakat, dan memanfaatkan sebesar-besarnya kompetensi dan potensi yang dapat dikelola. Ketaqwaannya pada Allah membuat dia tidak mau mencampuradukkan yang hak dan batil dan ia akan senantiasa amanah dalam menjaga kekayaan daerah yang merupakan milik rakyat sampai ke generasi berikutnya. Bila demikian, barulah dapat kita sebut ia seorang pemimpin yang visioner. Dengan niat, keinginan dan kerja keras bersama, hal ini dapat kita mulai di Provinsi Riau, Insya Allah.
Disampaikan pada acara Sembang Petang LAM Riau tanggal 29 Agustus 2013 di Pekanbaru